Rabu, 23 November 2011

Pernikahan dan Kesucian Rohani

0


Sebagian orang menganggap bahwa hubungan seksual akan menghambat potensi manusia untuk mencapai kesucian rohani dan kedekatan dengan Allah. Ironisnya, sebagian mereka itu dari kalangan tokoh agama. Oleh karena itu, mereka berpegang teguh dengan praktek olah rohani ( ar- riyadhah ar-ruhiyyah) yang dengannya mereka meninggalkan dunia dan terus menjalin kontak dengan Allah SWT, dan termasuk dari praktek itu adalah usaha membujang ( tidak menikah) dengan harapan agar mereka aman dari gangguan pikiran-pikiran tentang kenikmatan fisik dan supaya sebab-sebab kesucian rohani yang mereka dambakan terlaksana. Bagaimana sikap Islam terhadap orang-orang itu?

Sesungguhnya Islam menolak pemikiran yang demikian dari sisi akibat yang ditimbulkannya, meskipun ia tidak menolaknya dari sisi cara yang digunakannya. Itu dikarenakan Islam menganggap bahwa aspek seksual merupakan aspek utama dalam ke- beradaan manusia, karena ia merupakan kebutuhan alami bagi makhluk dan sebagai wujud yang akan berkembang. Dalam hadis Nabi saw disebutkan: "Nikah adalah sunahku, maka barangsiapa yang menolak sunahku, dia tidak termasuk golonganku." Oleh karena itu, Islam sangat menekankan masalah pernikahan, dan menilai bahwa keadaan membujang merupakan hal yang tidak baik bagi manusia. Kita mengetahui bahwa Nabi saw yang merupakan manifestasi puncak kesucian rohani dan "puncak keakraban" (puncak kedekatan) dengan Allah, berkata, "Tiga hal dari dunia yang menyenangkan saya: harum-haruman, wanita, dan salat." Dan beliau melangsungkan hubungan seksualnya dengan istri-istrinya secara alami.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan seksual manusia melalui pemikahan bukan hanya hal yang alami, bahkan ia-dalam pandangan Islam-merupakan hal yang diperlukan dan disukai, karena kebutuhan seksual adalah kebutuhan alami dan fitri yang tidak dapat ditiadakan dengan cara penekanan. Bahkan, ketika ditekan, dorongannya akan menguat dan ingin mencari "jalan keluar". Selanjutnya, ketika manusia mencegah dirinya dari kenikmatan seksual, maka pengekangan itu akan berakibat pada kegelisahan fisik yang terusmenerus mendesaknya untuk memenuhi hajat tersebut, dan akan menimbulkan-di dalamnya-ketegangan dan keresahan yang selalu mengganggunya di saat-saat dia menyendiri dalam ibadahnya, dan akan memutuskan jalan di hadapannya sehingga dia tidak dapat mendidik dirinya dan memperoleh kesucian rohani.

Karena itu, Islam tidak menganggap bahwa mencegah diri dari kenikmatan seksual akan dengan sendirinya mendatangkan nilai positif, sebagaimana ia tidak melihat bahwa meninggalkan makan dan minum akan membawa dampak positif. Namun sebaliknya, ia memandang bahwa manusia yang mencegah dirinya dari kebutuhan fisiknya, akan mendapatkan nilai negatif, karena hal itu akan menyebabkan timbulnya bahaya pada badan dan akan banyak potensi-potensinya yang lain yang tak berfungsi, yang demikian ini tampak dengan jelas dalam firman Allah SWT, "Katakanlah, 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di- keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan [ siapa pulakah yang mengharamkan] rezeki yang baik?' Katakanlah, 'Semuanya itu [disediakan] bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus [untuk mereka saja] di hari kiamat. ," (QS. al-A'raf: 32)

Demikianlah, ketika manusia mencegah dirinya dari pemenuhan kebutuhan fisiknya, maka hal itu tidak dibenarkan meskipun kita berusaha menafsirkannya sebagai bentuk zuhud yang dianggap Islam sebagai akhlak yang terpuji.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting